Perdamaian antar umat beragama adalah tujuan yang sangat penting
dalam upaya membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif. Dalam mencapai
perdamaian ini, perempuan memainkan peran yang tak tergantikan sebagai agen
perdamaian. Meskipun di sisi lain perempuan seringkali dianggap tidak memiliki
kekuatan untuk berpartisipasi dalam penyelesaian konflik dan menjadi agen
perubahan.
Hal seperti ini, sebenarnya yang kemudian semakin melanggengkan
budaya patriarki. Lalu membuat perempuan terstigmatisasi sebatas mengurusi
rumah tangga (domestic). Sebaliknya, di awal berdirinya negara ini, perempuan memiliki
peran yang sangat strategis dalam membangun, dan terlibat menjadi agen yang
aktif sama dan setara dengan laki-laki dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dari fakta tersebut, kita juga bisa mengambil ibrah dari
pengalaman perempuan agen perdamaian dalam masa konflik, Poso misalnya tahun
2002. Yakni di saat situasi berbahaya dan mencekam, para kaum perempuanlah yang
berani untuk menyentuh area tersebut dan menciptakan perdamaian di sana.
Inilah perjalanan yang dimulai
dengan sentuhan hati nurani dan kemanusiaan perempuan. Para perempuan Poso
menyadari konflik akan menghancurkan komunitas mereka, sehingga kesadaan
tersebut juga menguatkan mereka untuk menghentikan konflik tersebut.
Peran
Perempuan Menciptakan Kerukunan Anatr Umat Beragama
Oleh sebab itu, perempuan mampu memainkan
peran dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama dengan sangat penting.
Hingga berdampak signifikan dalam membangun masyarakat yang harmonis. Melalui
kemampuan mereka dalam membangun hubungan, komunikasi, dan pengertian,
perempuan dapat memainkan peran sebagai peace builder yang
kuat.
Perempuan sebagai agen perdamaian yang kuat, memiliki sejumlah
alasan yang menjadikan mereka mampu membawa perubahan positif, dan membangun
hubungan yang harmonis di antara berbagai kelompok agama yaitu:
Kepekaan Emosi dan Empati yang Kuat
Perempuan cenderung memiliki
kepekaan emosi dan kapasitas empati yang tinggi. Mereka mampu merasakan dan
memahami dengan mendalam perasaan dan penderitaan orang lain.
Kepekaan emosi dan empati ini
memungkinkan perempuan untuk mendengarkan dengan lebih baik. Berempati dengan
pengalaman dan perspektif orang lain, dan membangun ikatan yang lebih kuat
dengan berbagai kelompok agama. Kemampuan ini memungkinkan perempuan untuk
menjadi penghubung yang efektif dalam membuka dialog. Mempromosikan pemahaman
saling, dan mengurangi ketegangan yang ada.
Keterlibatan Sosial dan Kapasitas Membangun Jaringan
Perempuan seringkali memiliki
keterlibatan sosial yang kuat dalam masyarakat. Mereka terlibat dalam berbagai
komunitas, organisasi, dan jaringan, baik dalam lingkungan agama maupun sosial.
Keterlibatan sosial ini
memberikan perempuan akses ke berbagai kelompok dan memungkinkan mereka untuk
membangun hubungan yang inklusif dan memperluas jaringan dengan pemimpin agama,
tokoh masyarakat, dan kelompok-kelompok agama lainnya.
Dengan kapasitas membangun
jaringan yang kuat ini, perempuan dapat menggalang dukungan, mengkoordinasikan
upaya kolaboratif, dan mendorong partisipasi aktif dalam menciptakan perdamaian
antar umat beragama.
Kepemimpinan yang Kolaboratif dan Inklusif
Perempuan cenderung mengadopsi
gaya kepemimpinan yang kolaboratif dan inklusif. Mereka mampu membangun
konsensus, mendorong partisipasi yang merata, dan menghargai perbedaan
pendapat.
Kepemimpinan yang kolaboratif dan
inklusif ini memungkinkan perempuan untuk menghadapi tantangan kompleks dalam
menciptakan kerukunan antar umat beragama. Mereka dapat memperjuangkan
inklusivitas, mengakomodasi berbagai perspektif, dan memastikan bahwa
kepentingan semua pihak terwakili dalam proses perdamaian.
Pendidikan dan Pengetahuan
Pendidikan dan pengetahuan
memainkan peran penting dalam memberdayakan perempuan sebagai agen perdamaian.
Perempuan yang memiliki akses ke pendidikan yang berkualitas dapat
mengembangkan pengetahuan yang mendalam tentang agama, budaya, dan isu-isu sosial
yang relevan.
Pendidikan memberikan mereka alat
untuk memahami akar konflik, mengidentifikasi solusi yang berkelanjutan, dan
mengadvokasi perdamaian berbasis pengetahuan. Dengan pengetahuan yang kuat ini,
perempuan dapat menjadi pemimpin intelektual dalam upaya menciptakan kerukunan
antar umat beragama.
Motivasi untuk Membangun Dunia yang Lebih Baik bagi
Generasi Mendatang
Banyak perempuan merasa
terpanggil untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Mereka ingin memastikan bahwa anak-anak dan cucu-cucu mereka tumbuh dalam
lingkungan yang aman, harmonis, dan inklusif.
Motivasi ini mendorong perempuan
untuk menjadi agen perdamaian yang kuat dan bertekad untuk mengatasi konflik,
ketidakadilan, dan diskriminasi yang ada dalam masyarakat. Mereka melihat
pentingnya menciptakan kerukunan antar umat beragama dan mempromosikan
kesetaraan gender sebagai bagian penting dalam mewujudkan visi tersebut.
Namun, dalam peran mereka sebagai peace
builder, perempuan juga menghadapi tantangan dan hambatan.
Norma sosial dan budaya yang membatasi partisipasi perempuan dalam urusan
publik, stereotip gender yang persisten, serta kekerasan berbasis gender.
Maka, selain memiliki kekuatan
dalam mencapai kerukunan umat beragama, perempuan juga memiliki peran yang kuat
dalam mempromosikan kesetaraan gender dan mengatasi ketidakadilan yang ada dan
mereka alami selama ini dalam konteks agama. perempuan sebagai agen perdamaian
berjuang untuk mencapai kesetaraan gender dalam konteks agama.
Menantang Norma dan Tradisi
Mereka menantang norma dan
tradisi yang membatasi peran dan partisipasi perempuan dalam urusan agama.
Misalnya, perempuan mendorong pemimpin agama untuk memberikan kesempatan yang
setara bagi perempuan dalam memegang posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan
melalui forum kerukunan umat beragama (FKUB), majelis ta’lim, PKK, dan
kelompok-kelompok perempuan lainnya.
Mereka juga memperjuangkan
pengakuan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam konteks agama, termasuk hak
pendidikan, kebebasan beragama, dan perlindungan dari kekerasan berbasis
gender. Dengan memperjuangkan kesetaraan gender, perempuan tidak hanya
memperbaiki kondisi mereka sendiri, tetapi juga berkontribusi pada menciptakan
masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan
Selaian itu, perempuan sebagai
agen perdamaian juga ikut membentuk narasi dan interpretasi agama yang inklusif
dan non-diskriminatif, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok KUPI sebagai
representatif nilai adil gender dalam kelompok keagamaan. Mereka bekerja untuk
mengatasi prasangka dan stereotip gender dalam konteks agama yang dapat
menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan.
Melalui pendidikan, dialog, dan
advokasi, perempuan membantu memperluas pemahaman tentang agama yang inklusif
dan memberikan perspektif yang adil terhadap peran dan kontribusi perempuan
dalam agama. Dengan mengubah narasi yang ada, perempuan menciptakan ruang bagi
perubahan sosial yang lebih luas dan mempromosikan kesetaraan gender dalam
praktik keagamaan.
Tantangan dan Hambatan Mempromosikan Kesetaraan
Dalam kesimpulannya, perempuan
sebagai agen perdamaian juga menghadapi tantangan dan hambatan dalam
mempromosikan kesetaraan gender. Norma dan tradisi patriarki, stereotip gender
yang persisten, dan diskriminasi terhadap perempuan dalam praktik agama adalah
beberapa tantangan yang harus kita atasi sebagai agen perdamaian.
Di mana perempuan memiliki
kepekaan emosi, empati yang kuat, keterlibatan sosial yang luas, kepemimpinan
yang kolaboratif dan inklusif, pengetahuan yang mendalam, dan motivasi yang
tinggi untuk membangun dunia yang lebih baik.
Semua alasan ini menjadikan
perempuan sebagai kekuatan yang kuat dalam menciptakan kerukunan antar umat
beragama dan mempromosikan perdamaian yang berkelanjutan.
Meskipun, tantangan dan hambatan
tetap ada, perlu penguatan dukungan dari semua pihak untuk mencapai perubahan
yang berarti. Dengan melibatkan perempuan secara aktif dalam upaya perdamaian
dan kesetaraan gender, kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil, harmonis,
dan inklusif bagi semua umat beragama.