Problematika pendidikan Islam yang sering
menjadi sorotan dari Barat adalah masalah kesetaraan gender dan peran serta
partisipasi perempuan dalam pendidikan
di kalangan umat Islam. Isu tentang kesetaraan gender di bidang
pendidikan ini, kemudian
memunculkan berbagai kritik
terhadap ajaran Islam
yang dianggap tidak
memberikan ruang terhadap
kaum perempuan dalam dunia pendidikan, karena sebagaian besar ajaran Islam
dianggap terlalu maskulin dan berpihak pada kaum laki-laki. Kritik yang sering
dilontarkan oleh para aktifis gender dunia tersebut bukanlah sesuatu yang
baru dalam konteks
keislaman, bahkan dalam
perspektif sejarah umat
manusia masalah perbedaan
peran dan status
laki-laki dan perempuan telah menjadi perhatian utama.
Dalam
banyak perbincangan publik
pada era modern
ternyata perjuangan persamaan
gender yang telah lama didengungkan, secara realitas menunjukkan bahwa peran
perempuan dalam perspektif persemaan hak dan kedudukan dengan laki-laki telah
sedemikian maju dan berkembang. Hal ini
tidak bisa dilepaskan
dari adanya kesadara
dari kaum perempuan
itu sendiri mengenai arti penting
pendidikan bagi masa depan umat manusia khusunya perempuan
muslim, dalam mengahadapi
persaingan kerja dan karir
yang setara dengan laki-laki.
Dalam
konteks sejarah paling
tidak peran perempuan
di bidang pendidikan
telah dilakukan oleh
isteri Nabi Muhammad
SAW, seperti peranan siti Aisyah RA, yang terkenal kan
kecerdasannya dan jasanya dalam meriwayatkan beberapa hadits. Kemudian pada
masa Dinasti Fatimiyyah di Mesir, yang merepresentasikan kekuatan politis
representasi gender dalam politik
Islam. Dinasti ini
tercatat sebagai Dinasti
yang mengembangkan kajian KeIslaman madzhab Syiah di Mesir
dengan mendirikan Jami’ al-Azhar sebagai
cikal bakal Universitas
Al-Azhar menjadi pusat
pengembangan pendidikan dan
keilmuan pada masanya
Dalam
konteks kekinian, akibat
pengaruh globalisasi informasi
tampaknya gerakan feminis
dikalangan aktifis gender
Islam mengalami perubahan
fundamental. Nuansa liberalisme
Barat justru lebih
mendominasi trend dan pola gerakan emansipasi perempuan kontemporer. Seharusnya
para aktifis gerakan feminisme di kalangan Muslim tetapi tetap mempertahankan dogmatika
agam Islam dan
bersikap selektif terhadap
gagasan-gagasan feminisme dari Barat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para filosof
Muslim terhadap ideologi
dan pemikiran Yunani,
sehingga umat islam
dapat menikmati kemajuan
peradaban yang menjulang
pada era klasik Islam. Begitu
juga peranan perempuan dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan masalah-masalah
domestik, tetapi juga merambah pada
wilayah publik sebagaimana
konsep anti-diskriminasi perempuan
sejak awal Islam itu muncul, yang
mengedepankan persamaan hak dan kewajiban dengan kaum lelaki, dalam beribadah
dan menuntut ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar